Sabtu, 02 November 2013

Perbedaan Secara Syariah Asuransi Takaful Dengan Asuransi Konvensional

Tulisan Oleh : dr. Endy M Astiwara
Head of Human Resources and Development ATK

Sumber : Muamalatuna Vol. I/Edisi I/Th. I/25 Mei 2001

Takaful sebagai asuransi yang bertujuan pada konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain. Didalam menghadapi resiko, Allah SWT memerintahkan taawun (tolong-menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).

Firman Allah, “..dan janganlah kalian memakan harta diantara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu” (al Baqarah:188). Konsep dasar inilah yang mendasari berdirinya takaful dan sekaligus yang membedakan takaful dengan asuransi lain.

Secara rinci perbedaan takaful dengan asuransi lain dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :

Akad

Kejelasan akad dalam praktek muamalah merupakan prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian halnya dengan asuransi, akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas. Apakah akadnya jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful). Dalam asumsi biasa (konvensional) terjadi kerancuan/ketidakjelasan dalam masalah akad. Pada asuransi biasa akad yang melandasi adalah jual beli (aqd tadabuli). Oleh karena itu syarat-syarat dalam akad jual beli harus terpenuhi dan tidak boleh dilanggar ketentuan syariahnya.

Syarat dalam transaksi jual beli adalah adanya penjual, pembeli, terdapatnya harga, dan barang yang diperjualbelikan. Pada asuransi biasa, penjual, pembeli, barang atau yang akan diperoleh adan, yang dipersoalkan adalah berapa besar premi yang harus dibayar kepada perusahaan asuransi, padahal hanya Allah yang tahu tahun berapa kita meninggal. Jadi pertanggungan yang akan diperoleh sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah yang akan disetorkan tidak jelas tergantung usia kita, dan hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal.

Dengan demikian akadnya jual beli maka dalam asuransi biasa terjadi cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar). Yaitu berapa besar yang akan dibayarkan kepada pemegang polis (pada produk saving) atau berapa besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non saving). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya yang terkenal Majmu Fatwa menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan. Sebab pada dasarnya harta seorang muslim yang lain itu tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada yang disukainya. Akan tetapi hatinya tidak suka karena ia berikan karena tertipu atau terkecoh. Keadilan itu diantaranya dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib menyatakan hartanya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli dan dilarang menipu, berkhianat, dan bahwa hutan itu harus dilunasi dan mengucapkan pujian.

Gharar (Ketidakjelasan)

Definisi gharar menurut madzhab syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti. Ibnu Taimiyah bicara tentang gharar, yaitu al gharar yang tidak diketahui akibatnya. Sedangkan Ibnu Qoyim berkata al gharar adalah yang tidak bisa diukur penerimaannya baik barang itu ada atau tidak ada, seperti menjual hamba yang melarikan diri dan unta liar meskipun ada.

Pada asuransi konvensional, terjadi karena tidak ada kejelasan makud alaih (sesuatu yang diakadkan). Yaitu meliputi beberapa sesuatu akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil). Tidak diketahui berapa yang akan dibayarkan, tidak diketahui berapa lama kita harus membayar (karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal). Karena tidak lengkapnya rukun dari akad maka terjadilah gharar. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa akad jual beli atau akad pertukaran harta benda dalam hal ini adalah cacat secara hukum.

Takaful mengganti akad tadi dengan niat tabarru (aqd takafuli), yaitu suatu niat tolong menolong pada sesama peserta takaful apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Pertolongan tersebut tentunya tidak tertutup kemungkinan untuk kita atau keluarga apabila Allah mentakdirkan kita lebih dahulu mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadist.

Rasulullah pernah melarang jual beli gharar (HR Muslim). Dari Ali RA katanya Rasulullah pernah melarang jual beli orang terpaksa, jual beli gharar HR Abu Daud).

Konsekuensi dari akad dalam asuransi konvensional, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi. Sedangkan dalam asuransi takaful, dana yang terkumpul adalah milik peserta dan takaful tidak boleh mengklaim milik takaful.

Tabarru

Tabarru berasal dari kata tabarraa yatabarra tabarrauan, yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat tabarru merupakan alternatif uang yang sah dan diperkenankan. Tabarru bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta takaful, ketika diantaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama takaful untuk saling tolong menolong.

Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar dihadapan Allah, sebagaimana digambarkan dalam hadist Nabi SAW, barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah akan memenuhi hajatnya (HR Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

Maisir (judi, untung/untungan)

Sikap Allah dalam al Quran sangat jelas dalam hal maisir, firman Allah SWT “ hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan (QS Al Maidah:90).

Dalam mekanisme asuransi konvensional, maisir (untung untungan), sebagai akibat dari status kepemilikan dana dan adanya gharar. Al gharar menurut bahasanya artinya penipuan., yang tidak ada unsur rela pada pelaksanaannya, sehingga termasuk memakan harta bathil. Pada bagian lain Zuhail berkata bahwa baial gharar adalah jual beli yang mengandung resiko bagi salah seorang yang mengadakan akad sehingga mengakibatkan hilangnya harta. Faktor inilah yang dalam asuransi konvensional disebut maisir (gambling).

Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir. Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional mengatakan adanya unsur maisir karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum periode akhir polis asuransinya, namun telah membayar preminya sebagian maka tanggungannya akan menerima sejumlah uang tertentu.

Bagaimana cara memperoleh uang dan dari mana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini dipandang sebagai al maisir. Unsur ini pula yang terdapat dalam bisnis asuransi, dimana keuntungan yang diperoleh tergantung dengan pengalaman si penanggung, keuntungan dipandang sebagai hasil mengambil resiko, bahkan sebagai hasil kerjanya yang riil.

Lebih jauh Muhammad Fadli Yusuf mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil (ikut) asuransi tidak dapat disebut judi. Yang boleh disebutkan judi, jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak sedikitnya klaim yang dibayar. Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak sedikitnya klaim yang dibayarnya.

Riba

Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga. Dengan demikian asuransi konvensional selalu melibatkan diri dalam riba. Demikian juga dengan perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntugan di depan. Takaful menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem mudharabah. Demikian pula investasinya, selain di bank-bank syariah juga pada bidang-bidang lain yang tidak bertentangan dengan syariah.

Allah dengan tegas melarang praktek riba, “ hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali Imron:130). Sedangkan hadist Nabi mengutuk orang-orang yang terlibat dalam transaksi riba “Rasulullah mengutuk pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda kepada mereka semua sama” (HR Muslim).

Dana Hangus

Hal lain yang sering dipermasalahkan oleh para ulama pada asuransi konvensional adalah adanya dana yang hangus, dimana peserta yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mendundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Demikian pula juga asuransi non saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayarkan akan hangus yang sekaligus menjadi milik pihak asuransi.

Hal ini menurut para ulama sangat merugikan peserta terutama bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi tidak punya dana untuk melanjutkan, sedangkan jika tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Pada kaitan ini peserta dalam posisi yang dizalimi, padahal dalam praktek muamalah dilarang saling menzalimi antara kedua belah pihak, laa dharaa wala dhirara (tidak ada yang merugikan dan dirugikan).

Bagaimana dengan konsep Takaful

Takaful dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk pun yang karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja dana yang sudah diniatkan sebagai dana tabarru.

Begitu pula dengan Asuransi Takaful Umum (asuransi kerugian), jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka takaful akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan yang ada. Jadi premi yang dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus). Adapun mengenai jumlahnya sangat tergantung pada tingkat investasi tahun tersebut.

Konsep Taawun dalan Asuransi Takaful

Sebagian ahli syariah menyamakan takaful dengan sistem aqilah pada zaman rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at takmin, at tak awun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu badan, dan terjadi kesepakatan anggota masyarakat untuk bersama-sama memikul suatu kerugian atau penderitaannya yang mungkin terjadi pada anggotanya.

Untuk kepentingan itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan diatas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi takaful). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong menolong seperti yang diajarkan Islam.

Atas dasar ini maka pakar Islam sepakat keabsahannya, sebagaimana dinyatakan dalam fatwa kibar al ulama di Saudi Arabia dalam muktamarnya pada tahun 1397 H.

Dewan Pengawas Syariah

Pada asuransi takaful seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), baik dari segi operasional perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam struktur organisasi perusahaan setara dengan dewan komisaris.

Hal-hal itulah yang membedakan asuransi takaful dengan asuransi konvensional, apabila dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanusiaan atau syariahnya, maka sistem takaful adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.